MPN – NABIRE. Komunitas Masyarakat Adat Saireri II Nabire bersama Aliansi Perempuan Pesisir dan Kepulauan Nabire menyerahkan Surat Keberatan Resmi atas Jadwal Konsultasi Publik Raperda Papua Tengah yang dinilai terlalu singkat kepada Sekretariat DPR Papua Tengah, Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah, dan Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Papua Tengah, Rabu (12/11) 2025 di Nabire.
Penyerahan dokumen itu merupakan bentuk sikap resmi masyarakat adat pesisir, terhadap proses konsultasi publik sepuluh Raperdasi dan Raperdasus Papua Tengah yang digelar pada 7 November 2025, yang dinilai tidak memberikan ruang partisipasi yang cukup bagi masyarakat adat dari berbagai wilayah hukum adat di Papua Tengah.
“Keberatan ini kami lakukan sebagai sikap kami masyarakat adat Saireri II Nabire yang menilai proses harmonisasi 10 Perdasi dan Perdasus Papua Tengah tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan tanggapan publik,” ujar Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Mepago, Herman Sayori usai menyerahkan surat keberatan itu di Sekretariat DPR Papua Tengah.
Sayori menegaskan bahwa, langkah ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan tindakan sadar untuk mengingatkan pemerintah provinsi dan DPR agar tidak melahirkan kebijakan hukum daerah tanpa partisipasi masyarakat adat.

“Ini untuk kepentingan rakyat sebagai landasan awal bagi Provinsi Papua Tengah. Proses legislasi tidak boleh terburu-buru tanpa memberikan ruang sebesar-besarnya bagi masyarakat adat, bukan hanya kami di pesisir Saireri II Nabire, tetapi juga wilayah adat lainnya Mepago, Bomberay, dan Lapago. Setiap Perdasi dan Perdasus seharusnya bisa menghadirkan suara masyarakat adat, bukan hanya kelompok tertentu,” tegasnya.
Dari patauan MPN Nabire, rombongan perwakilan Masyarakat Adat Saireri II Nabire dan Aliansi Perempuan Pesisir Nabire melakukan penyerahan dokumen keberatan secara berurutan ke tiga lembaga di Nabire.
Tahap pertama dilakukan di Sekretariat DPR Papua Tengah, diikuti dengan penyerahan ke kantor MRP Papua Tengah, dan ditutup dengan penyerahan ke Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Papua Tengah.

Dokumen yang diserahkan berisi Surat Keberatan Resmi Nomor 012/KMA-SRR II/XI/2025, yang ditandatangani oleh perwakilan masyarakat adat dan tokoh perempuan pesisir.
Dalam surat itu, mereka menilai pelaksanaan konsultasi publik Raperdasi dan Raperdasus pada 7 November lalu berlangsung singkat, tanpa sosialisasi yang cukup, dan tidak memberi ruang partisipasi masyarakat adat untuk memberikan tanggapan tertulis.
Penyerahan surat keberatan ini dilatarbelakangi oleh keputusan DPR Papua Tengah yang telah menyerahkan 10 draf Raperdasi dan Raperdasus kepada Kanwil Hukum Papua untuk proses harmonisasi, padahal sebelumnya masyarakat telah menyampaikan niat untuk memberikan masukan tertulis sebagai bagian dari tanggapan publik.
Langkah cepat DPR Papua Tengah itu dianggap mengabaikan prinsip partisipatif dan keterbukaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Masyarakat adat menilai, proses pembentukan peraturan di Papua Tengah harus menjadi contoh bagi penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat dan semangat otonomi khusus yang menekankan “Rakyat Papua sebagai subjek, bukan objek pembangunan.”
Melalui penyerahan surat keberatan ini, masyarakat adat Saireri II Nabire dan Aliansi Perempuan Pesisir Nabire berharap DPR Papua Tengah, MRP, dan Pemerintah Provinsi Papua Tengah dapat membuka kembali ruang dialog dan memperbaiki mekanisme partisipasi publik dalam pembahasan Raperda di masa mendatang.
“Kami datang membawa surat, bukan untuk menolak, tapi untuk mengingatkan. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami sebagai masyarakat adat agar setiap peraturan di tanah ini lahir dari suara dan kepentingan rakyat Papua sendiri,” tutup Herman Sayori.














