Opini  

Ironi Konser Lucky Dube di Jayapura Jadi ‘Pameran’ Wajah Asli Represif Papua di Mata Dunia

Malam Pagelaran Lucky Dube di Jayapura. (Foto:MPN.doc)
banner 120x600

ADA ironi yang begitu tebal dan memalukan di PTC Karang Entrop, Jayapura, malam kemarin (3/12). Ketika The Lucky Dube Band—musisi-musisi yang membawa DNA perlawanan anti-apartheid dari Afrika Selatan—berdiri di panggung, mereka tidak sedang sekadar menghibur. Mereka sedang merapal mantra kebebasan. Lucky Dube, sang legenda yang rohnya hidup dalam musik itu, adalah monumen perlawanan terhadap segregasi rasial dan penindasan negara.

​Namun, apa yang terjadi di Jayapura justru menjadi tontonan “komedi gelap” tentang bagaimana negara ini bekerja.

​Konser yang diprakarsai oleh Gorby Sanggy Peday ini baru berjalan 7 lagu dari rencana 15 lagu. Adrenalin massa sedang memuncak, meresapi lirik-lirik soal freedom dan justice. Lalu, tiba-tiba: Hentikan.

​Alasannya? Klasik. Klise. Membosankan: “Makar”. Hanya karena ada kibaran Bintang Kejora di tengah kerumunan.

​Tindakan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Jayapura yang membubarkan konser secara total adalah bentuk collective punishment (hukuman kolektif) yang gegabah dan memalukan. Jika memang ada dugaan pelanggaran hukum terkait simbol negara, logika hukum yang waras seharusnya menargetkan subjek pelaku (individu), bukan membunuh ruang ekspresi kultural yang dinikmati ribuan orang.

​Polisi tampaknya lupa—atau pura-pura tidak tahu—siapa tamu yang sedang mereka hadapi. Ini adalah Lucky Dube Band. Mereka berasal dari tanah di mana musik adalah senjata untuk meruntuhkan tembok apartheid. Dengan menghentikan konser mereka secara paksa, aparat kepolisian di Jayapura justru sedang melakukan “presentasi langsung” di hadapan musisi dunia tentang bagaimana wajah asli demokrasi di Papua.

​Tanpa sadar, polisi telah memberikan validasi paling otentik kepada tamu-tamu Afrika ini: “Lihatlah, apa yang kalian nyanyikan tentang penindasan, benar-benar terjadi di sini, di depan mata kalian.”

​Alih-alih meredam isu Papua, tindakan represif ini justru menjadi loudspeaker ke panggung internasional. Para musisi ini akan pulang ke Afrika, ke komunitas Reggae dunia, dan bercerita bahwa di sebuah tempat bernama West Papua, menyanyikan lagu kebebasan bisa membuat aparat negara panik setengah mati. Pembubaran ini bukan penegakan hukum; ini adalah kampanye gratis ke dunia internasional bahwa ruang sipil di Papua sedang dicekik.

​Negara ini seolah menderita paranoia akut. Ia takut pada kain, takut pada lagu, dan takut pada ekspresi. Di PTC Entrop, polisi tidak sedang menjaga keamanan; mereka sedang mempertontonkan ketidakamanan mereka sendiri dalam menghadapi aspirasi rakyat.
​Kepada Kepolisian di Jayapura: Kalian tidak sedang menegakkan kedaulatan dengan mematikan sound system. Kalian justru sedang menelanjangi diri sendiri, menunjukkan kepada dunia bahwa di tanah ini, “Kebebasan Berpendapat” hanyalah mitos yang indah di atas kertas, tapi mati di lapangan konser.

​Respect untuk Gorby Sanggy Peday dan tim yang sudah berusaha. Dan untuk The Lucky Dube Band: Maafkan kami. Malam itu kalian melihat langsung bahwa “Apartheid” dalam bentuk lain, masih bernafas di sini.

Penulis: Roberthino HaneboraEditor: Sam Wanda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *