MPN – NABIRE. Tanah adat yang sudah dilepas tetapi tidak digarap perusahaan, harus dikembalikan kepada pemilik ulayat. Demikian Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, John NR Gobai menegaskan itu saat ditemui MPN di Nabire, Senin (30/9) 2025.
Pernyataan Gobai disampaikan menyusul adanya desakan masyarakat adat Papua, agar pemerintah menghentikan ijin baru perkebunan sawit dan meninjau ulang konsesi lama. Konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat adat selama ini dinilai, belum menemukan titik keadilan.
Pemerintah pusat telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit. Skema pembagian ditetapkan 20 persen untuk provinsi, 60 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 20 persen untuk daerah berbatasan.
Namun, menurut Gobai, mekanisme ini belum cukup menjawab tuntutan keadilan. Ia menilai, DBH Sawit harus benar-benar diprioritaskan bagi pemberdayaan masyarakat adat, pembangunan kampung, serta pemenuhan hak ekonomi warga di sekitar kebun.
Selain DBH, masyarakat adat juga mempersoalkan kebun plasma. Undang-Undang Perkebunan mewajibkan perusahaan menyediakan 20 persen lahan plasma, namun di Papua ketentuan ini sering tak berjalan.
“Di lapangan, plasma hanya ada di atas kertas, tanpa manfaat. Jika perlu, dibalik. 80 persen untuk masyarakat, 20 persen untuk perusahaan,” ujar Gobai.
Masyarakat adat menilai, sawit membawa dampak serius terhadap ruang hidup mereka. Hutan, kebun obat, hingga wilayah tangkapan air yang menjadi sumber pangan kini berkurang. Sejumlah wilayah pun rawan banjir, akibat hilangnya penyangga alam.
Selain reklamasi tanah adat, Gobai mendorong agar industri pengolahan sawit dibangun langsung di Papua. Dengan begitu, ekspor bisa dilakukan dari wilayah ini, sehingga nilai tambah dan keuntungan tidak hanya dinikmati di luar Papua.
“Biarlah PPh Badan masuk ke kas negara, tetapi hak rakyat Papua harus dipastikan melalui bagian yang adil,” katanya.
Sejumlah aksi penolakan sawit di Papua dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm bagi pemerintah. Masyarakat adat menegaskan tuntutan mereka sederhana, hentikan ijin baru, kembalikan tanah adat, wujudkan plasma, dan atur bagi hasil yang adil.














