Konflik Papua Tengah Telan 80 Korban Jiwa

Komnas HAM Tegaskan Pembangunan Tak Bisa Jalan Diatas 'Luka'

banner 120x600

MPN – NABIRE. Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyebut percepatan pembangunan Papua Tengah mustahil diwujudkan selama konflik bersenjata terus berlangsung.

Demikian penegasannya dalam Dengar Pendapat Umum (DPU) Pimpinan DPR Papua Tengah dan Pansus Kemanusiaan di Auditorium RRI Nabire, Senin (29/9) 2025. Diungkapkannya fakta mencengangkan, bahwa sepanjang Januari–Agustus 2025 tercatat 41 kasus kekerasan dengan 80 korban jiwa, terdiri dari 54 orang meninggal dan 26 luka-luka.

Data Komnas HAM mencatat, korban terdiri dari 7 anggota TNI (2 meninggal, 5 luka-luka), 6 anggota Polri (5 meninggal, 1 luka-luka), 19 anggota kelompok bersenjata (5 meninggal, 4 luka-luka), serta 36 warga sipil (20 meninggal, 16 luka-luka).

“Konflik di Papua Tengah berpotensi terus meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kehadiran aparat dengan pola operasi belakangan ini, justru mengacaukan percepatan pembangunan,” kata Ramandey.

Acara yang difasilitasi John NR Gobai selaku Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah dan Yohanis Kemong  selaku Ketua Pansus Kemanusiaan DPR Papua Tengah itu menghadirkan berbagai pihak seperti tokoh adat, pemuda, perempuan, akademisi, aktivis HAM, tokoh agama, hingga jurnalis.

Dari empat narasumber utama yang dijadwalkan, hanya Frits Ramandey yang hadir. Kapolda Papua Tengah dan Danrem 173/PVB berhalangan hadir, sementara Wakil Ketua DPD RI, Yorrys Raweyai yang dijadwalkan online tidak terkoneksi. Sebagai pengganti, forum menampilkan Bartolomius Mirip sebagai Tokoh Masyarakat Intan Jaya dan Saul Wanimbo  sebagai Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika untuk memberikan testimoni lapangan.

Bartolomius Mirip menggambarkan kehidupan masyarakat Intan Jaya “seperti di atas duri.” Sejak 2019, masyarakat hidup dalam ketakutan akibat operasi militer, dengan arus pengungsian ke Mimika dan Nabire. Ia menegaskan, pendidikan lumpuh total karena Sekolah negeri dari SD hingga SMA tak berjalan sama sekali, hanya empat SD Yayasan Katolik yang tetap beroperasi terbatas.

Saul Wanimbo menambahkan, bahwa pembangunan tidak mungkin berjalan tanpa rasa aman. “Guru tidak bisa mengajar, ASN tidak bisa bekerja, proyek infrastruktur macet, bahkan bupati lebih banyak berada di Nabire dengan alasan keamanan,” ungkapnya.

Ia menekankan empat syarat minimal agar pembangunan berjalan. Diantaranya perlu terjadi Pengurangan Pasukan non-organik, harus terjadi dialog antara pemerintah–TPN OPM, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat harus bisa dipenuhi, dan harus dilakukan pemberian jeda kemanusiaan.

Menurut Ramandey, akar persoalan konflik Papua adalah perebutan sumber daya alam. Ia menyoroti kehadiran operasi militer yang kerap berkaitan dengan rencana eksploitasi tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya. “Konflik seharusnya dibaca negara sebagai tanda ada masalah di masyarakat. Namun negara gagal mengubah konflik menjadi partisipasi rakyat,” tegasnya.

Dari DPU itu, Forum menyepakati beberapa rekomendasi penting seperti;

1. Menolak pendropan pasukan non-organik di Papua Tengah.
2. Menghentikan perdagangan senjata dan amunisi di wilayah konflik.
3. Memberikan jeda kemanusiaan agar rakyat sipil tidak lagi menjadi korban.
4. Melibatkan kelompok bersenjata dalam dialog damai.
5. Menegaskan bahwa pembangunan harus berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan elite atau proyek ekonomi semata.

Ramandey menutup dengan pernyataan tegas: “TPN-OPM tidak bisa diburu. Mereka harus dirangkul. Gubernur Papua Tengah bersama para bupati harus memimpin rekonsiliasi agar percepatan pembangunan tidak lagi menjadi ilusi.”

Penulis: Roberthino HaneboraEditor: sam nussy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *