Pusat ‘Buat Trik’ Membenturkan Sesama OAP

Bentuk Komite Eksekutif PPOKP Perlu Dikritisi

Presiden Prabowo Menyalami John. G. Gebze usai Melantik Komite Eksekutif PPOKP. (foto: Google.com)
banner 120x600

Oleh: Yohanis S. Nussy, S.Pd

IRONI BARU kembali dimunculkan bagi Orang Papua, ketika Presiden Prabowo Subianto baru saja menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 110/P Tahun 2025, tentang pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (PPOKP). Kita tentu bukannya tidak senang karena masih tampak niat bahwa, persoalan Papua diurus sendiri oleeh orang Papua, tapi sejujurnya bukan sekedar demikian. Di atas kertas, upaya ini tampak sebagai upaya baru untuk mempercepat pembangunan dan menjawab ketimpangan lama di Tanah Papua. Namun dibalik kemasan retoris itu, muncul pertanyaan mendasar, Apakah lembaga baru ini sungguh untuk membangun Papua, atau ‘hanya trik’ politik untuk membenturkan sesama orang asli Papua (OAP)?

Lelah Menjadi Objek Percobaan

Sejak masa integrasi hingga dua dekade pelaksanaan Otonomi Khusus, Papua terus menjadi ‘laboratorium kebijakan’ — tempat segala konsep pembangunan diuji, diganti, dan diulang tanpa arah yang jelas. Ada kejenuhan juga dalam mengamati perjalanan beragam kebijakan bagi Papua yang tidak pernah menghasilkan perubahan, sekalipun terkadang terjadi tindakan yang seakan serius demi mendorong perbuahan hakekat itu bisa dialami orang Papua.

Kini, dengan hadirnya Komite Eksekutif PPOKP, pola lama itu kembali diputar. Seolah negara tidak pernah belajar dari tumpang-tindih lembaga yang sudah ada, seperti BP3OKP (Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua), yang hingga kini pun belum menunjukkan kinerja berarti di mata rakyat Papua.

Kritik dari Senator asal Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor (PFM), layak dicatat. Ia menilai bahwa, pembentukan Komite Eksekutif ini hanya menambah panjang rantai birokrasi, memperbanyak pos jabatan, dan membebani anggaran negara tanpa hasil nyata. “Masyarakat Papua dari dahulu tetap saja menjadi objek penderita. Tidak ada perubahan signifikan yang mereka rasakan,” ujarnya.

Pernyataan itu bukan sekadar kritik, melainkan jeritan kolektif dari sebuah bangsa kecil di timur yang ‘terus dijadikan kelinci percobaan politik dan ekonomi.’ Bagaimana mau tuntas, sekian banyak masalah yang hingga kini justru semakin parah!

 Politik Struktur Tanpa Substansi

Masalah utama bukan sekadar banyaknya lembaga, tetapi ketiadaan arah transformasi.

Negara seolah percaya bahwa, pembangunan Papua bisa diselesaikan dengan membentuk struktur baru — seakan-akan setiap masalah bisa ditambal dengan badan baru, komite baru, atau pejabat baru.

Padahal, yang dibutuhkan Papua bukan lembaga tambahan, melainkan pembaruan paradigma dan perubahan perilaku kekuasaan.

Kita menyaksikan betapa banyak lembaga yang dibentuk atas nama percepatan pembangunan justru menjadi alat kompromi politik, bukan sarana efektif untuk memperbaiki nasib rakyat Papua. Komite Eksekutif PPOKP dikuatirkan menjadi bagian dari pola itu, lembaga yang tampak gemuk di atas kertas, tetapi kosong dalam kinerja dan arah moral.

Wajah Lama, Gagasan Usang

Susunan Komite Eksekutif yang diumumkan pun menunjukkan minimnya inovasi – ini berbeda dengan berkemampuan. Nama-nama yang muncul adalah wajah lama yang diketahui memiliki kemampuan strategis — karena hampir semuanya merupakan tokoh-tokoh penting Papua, namun sayangnya sulit diakui masih memiliki daya jangkau sosial di tengah masyarakat Papua. dalam kebanyakan benak generasi Papua masa kini, mereka bukan figur visioner, melainkan pengulang kebijakan lama dengan metode lama. “Komite ini ibarat menampung besi tua agar tidak karatan,” kata PFM dalam kritiknya yang tajam.

Pernyataan ini sejujurnya menyentuh inti masalah bahwa, Papua tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur yang berakar di tanahnya sendiri. Negeri ini butuh pemimpin yang punya akar dan cakar — yang berpijak kuat di hati rakyat, bukan di kursi kekuasaan.

Politik Pecah Belah yang Diperhalus

Jika kita menelusuri sejarah relasi antara pusat dan Papua, pola yang berulang adalah politik pecah belah dalam selimut pembangunan. Pada bagian inilah, seharusnya lebih dipikirkan kerja-kerja yang lebih transparan dan melibatkana orang Papua dari beragam kalangan, sesungguhnya bukan ini yang mau dipahami sebagai upaya melakukan transformasi terhadap pembangunan hakekat di Tanah Papua.

Setiap kali muncul gagasan baru dari Jakarta, didalamnya terselip agenda kontrol dan pembelahan antar daerah, antar elite, bahkan antar sesama OAP.

Komite Eksekutif PPOKP bisa menjadi panggung baru dari strategi lama itu — menghadirkan wajah-wajah Papua di depan publik agar terlihat inklusif, tetapi sebenarnya menanamkan mekanisme kendali yang membuat OAP saling bersaing memperebutkan pengaruh, jabatan, dan proyek.

Hasil akhirnya mudah ditebak, Papua tetap diam di tempat, sementara pusat makin rapi mengatur dari jauh. Ini jelas menjadi kerja para ‘Pembisik” presiden yang menyimpan dendam terhadap Papua secara umum, entah siapa mereka — Jakarta tentu lebih mengetahuinya.

Jalan yang Lebih Sehat

Jika pemerintah pusat sungguh ingin mempercepat pembangunan Papua, maka langkah pertama bukan membentuk lembaga baru, tetapi mengevaluasi dan memperbaiki integritas lembaga yang sudah ada. Kalau perlu diganti maka yang lama harusnya dibekukan dulu, baru dibentuk yang baru tetapi untuk melakukan segalanya berdasarkan apa yang sudah dievaluasi.

BP3OKP bisa diperkuat secara struktural dan fungsional, dengan evaluasi kinerja yang transparan, audit publik, serta keterlibatan luas masyarakat sipil Papua. Ini adalah bagian krusial yang penting mendapatkan evaluasi, bukan malah memberikan kesan membentuk yang baru karena kewenangan yang dimiliki dan mengabaikan apa yang sudah ada tanpa etika.

Lebih dari itu, pusat harus belajar mendengarkan, dengar suara dari lembah, dari pesisir, dari gunung, dari para petani dan nelayan Papua yang hidupnya tak pernah disentuh pembangunan. Papua tidak butuh komite, mereka butuh komitmen.

Transformasi Bukan Imitasi

Papua tidak akan berubah karena lembaga baru, tetapi karena keberanian moral untuk memperbaiki relasi kekuasaan, antara pusat dan daerah.

Komite Eksekutif PPOKP, jika tidak dirombak secara substansial, hanya akan menjadi simbol imitasi pembangunan, bukan transformasi.

Transformasi sejati hanya akan lahir dari kejujuran dan kesetiaan terhadap rakyat — bukan dari manuver politik yang memperpanjang luka dan memperdalam perpecahan di antara anak-anak negeri sendiri. “Papua Tidak Boleh Jadi Proyek Tapi Subjek dan Bukan Dipercepat Tapi Diberdayakan.”

(Penulis, adalah seorang Jurnalis dan Penulis Buku ‘Transformasi Papua”. Tinggal di Timika)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *