Cerita Tambang Bawah Tanah Freeport ‘Masih Gelap’

Tiga Serikat Pekerja Freeport Mengaku Tak Tahu Apa yang Sebenarnya Terjadi di Bawah Tanah

Gedung Kantor (Office Building - OBI) PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana. (Foto:Google.com)
banner 120x600

MPN – MIMIKA. Di balik gemuruh mesin tambang bawah tanah terbesar di dunia, muncul suara-suara yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Sudah lebih dari sebulan sejak insiden longsoran wet muck di area Grasberg Block Cave (GBC) pada awal September 2025, namun hingga kini, tiga serikat pekerja utama di PT Freeport Indonesia (PTFI) mengaku belum menerima informasi resmi apa pun dari pihak manajemen tentang kondisi terkini di bawah tanah.

Dalam kegelapan tambang raksasa itu, informasi tampak lebih langka dari oksigen yang sungguh sangat dibutuhkan para pekerja tambang. Aneh memang, karena sejauh ini manajemen PT Freeport Indonesia terkesan hanya mau memberikan keterangan kepada media nasional di ‘pusat’ sana, sementara Tembagapura dan peristiwanya terjadi di Mimika – Papua Tengah ini.

Vice Presiden Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Katri Krisnati yang kembali dikonfirmasi via Whats App Seluler, Selasa (28/10) 2025 hari ini pukul 13.35 WIT bahkan dikontak langsung Pukul 13.42 untuk dimintai keterangannya mengenai kepastian, apakah sejauh ini benar masih terjadi proses investigasi tambang bawah tanah dan apakah itu hanya dilakukan di area bekas longsoran wet muck (lumpur basah) di GBC atau pada  semua area tambang bawah tanah. Itupun nihil alias Masih Gelap.

Kami Tidak Tahu Apa pun

Ketua Serikat Pekerja Mandiri Papua (SPMP) PTFI, Virgo Salossa dengan nada yang terdengar biasa menegaskan bahwa, hingga kini manajemen belum memberikan kabar resmi tentang hasil investigasi pasca-insiden di GBC maupun situasi penambangan bawah tanah secara keseluruhan.

“Kami belum dapat informasi apa-apa dari perusahaan, bahkan dari anggota kami yang bekerja di bawah sana. Yang kami tahu, perusahaan masih melakukan proses investigasi,” ujar Virgo kepada redaksi media ini.

Ia berharap, manajemen tidak hanya melakukan pemulihan (recovery) di area GBC, tetapi juga melakukan evaluasi menyeluruh di seluruh tambang bawah tanah Freeport.

“Musibah seperti ini seharusnya jadi momentum perbaikan besar. Jangan hanya di satu lokasi. Kami ingin proses ini dilakukan dengan jujur dan transparan, demi keselamatan semua pekerja,” tegasnya.

Virgo menambahkan, risiko kerja di tambang bawah tanah memang tinggi. Namun baginya, kejujuran dan keterbukaan informasi jauh lebih penting, karena itu menyangkut nyawa manusia.

“Setiap orang pasti takut, tapi mereka tetap bekerja. Itu pilihan. Yang kami minta hanya kejelasan dan penghargaan atas keselamatan manusia,” katanya.

Kami Tidak Dilibatkan

Nada serupa disampaikan oleh Makmeser Kafiar, Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) PTFI. Ia menegaskan, hingga kini SBSI tidak dilibatkan dalam proses investigasi.

“Kami mau ini dipahami baik bahwa, pertambangan ini milik negara, dan pekerjanya mayoritas orang Indonesia. Pemerintah harus bisa menjamin keselamatan mereka,” ujarnya.

Makmeser menyebut, sebagian besar pekerja bawah tanah masih berada di barak-barak menunggu hasil investigasi. Aktivitas produksi, katanya, masih dihentikan sementara, kecuali untuk beberapa tim development yang melakukan pembersihan area di bawah pengawasan tim investigasi.

“Kami tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi di bawah sana. Kami berharap hasil investigasi nanti diumumkan secara terbuka, bukan hanya di lingkaran manajemen,” katanya dengan nada tegas.

Bagi SBSI, transparansi bukan sekadar formalitas, tetapi hak pekerja untuk mengetahui risiko yang mereka hadapi setiap hari.

Ini Soal Nyawa, Bukan Produksi

Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PTFI, Yudha Noya, juga menegaskan bahwa belum ada kabar resmi dari manajemen soal hasil investigasi atau rencana pemulihan.

“Sampai saya bicara sekarang, belum ada informasi terbaru dari manajemen. Kami tidak dilibatkan dalam proses inspeksi atau investigasi,” jelasnya.

Bagi Yudha, yang paling penting bukan seberapa cepat tambang kembali beroperasi, tetapi seberapa serius perusahaan memastikan keselamatan pekerjanya.

“Di perusahaan ini ada semangat bahwa tidak ada kecelakaan yang tidak bisa dicegah. Artinya semua sumber daya harus digunakan agar nyawa manusia tidak terancam lagi,” tegasnya.

Yudha juga berharap hasil investigasi bisa menjadi dasar evaluasi menyeluruh, agar teknologi dan sistem pengawasan yang digunakan benar-benar efektif mencegah kecelakaan serupa di masa depan.

Bayangan di Balik Gunung Emas

Tiga suara ini – SPMP, SBSI, dan SPSI – menggema dari arah yang sama, kekosongan informasi dan ketertutupan komunikasi dari manajemen Freeport.
Semua berharap, setelah proses investigasi rampung, perusahaan mau membuka hasilnya secara transparan dan melibatkan organisasi pekerja dalam setiap tahapan evaluasi.

Namun di tengah harapan itu, muncul kekhawatiran lain, Apakah semua pekerja benar-benar sedang “standby” seperti klaim serikat? Ataukah sebagian sudah kembali ke terowongan tambang, diam-diam melanjutkan pekerjaan di bawah tanah – seperti pengakuan beberapa sumber lapangan yang berhasil diperoleh MPN?

Jika benar demikian, maka pernyataan resmi dan realitas lapangan bisa jadi sedang berjalan di dua dunia yang berbeda – satu di atas meja rapat, dan satu lagi di kedalaman tambang yang gelap.

Akhir yang Masih Terbuka

Bagi ribuan pekerja Freeport, tragedi longsor wet muck di GBC bukan sekadar insiden teknis. Itu adalah pengingat keras bahwa emas yang diambil dari perut bumi dibayar dengan risiko jiwa manusia.

Seharusnya informasi melalui komunikasi aktif terus dilakukan manajemen perusahaan multi nasional ini, mengingat hampir semua pihak juga ‘diam’ mengenai hal ini, padahal sudah sering juga terjadi. Setidaknya jika tidak kepada dunia luar, kepada para pekerjanya saja lah.

Namun selama komunikasi antara manajemen dan pekerja masih tersendat, maka tambang bawah tanah di Papua ini akan tetap menyimpan misteri—bukan hanya tentang mineral berharga di dalamnya, tetapi juga tentang kebenaran yang masih terkubur di baliknya.

Penulis: Sam WandaEditor: Sam Nussy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *