MPN – NABIRE. Suku Besar Yerisiam Gua melalui Sekretarisnya, Roberthino Hanebora mendesak DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) Nabire untuk tidak hanya menjadi “boneka birokrasi”, melainkan turun langsung ke lapangan melihat persoalan masyarakat. Hal ini disampaikan lewat siaran pers resmi bernomor SBYG0159/SP/X/2025, menyusul meningkatnya dampak konflik agraria dan pengungsian di Papua Tengah. Siaran pers dikeluarkan awal Oktober 2025.
Kabupaten Nabire, khususnya wilayah adat Yerisiam Gua disebut telah dimasuki dan diklaim oleh kelompok pengungsi dari pegunungan dan berdampak ke pesisir Nabire dan Timika, menimbulkan masuknya pengungsi yang kemudian menguasai tanah adat tanpa izin. Hal ini dikhawatirkan melahirkan konflik baru.

Melalui seruan resmi itu, Roberthino menekankan tiga solusi :
1. Pembentukan badan khusus penanganan konflik dan pengungsian, dengan pendataan serta penempatan jelas.
2. Peraturan daerah yang melindungi hak kepemilikan wilayah adat dari klaim sepihak.
3. Keputusan gubernur terkait penanganan pengungsian agar tidak menimbulkan ketegangan baru di tanah adat.
“Wilayah adat kami di Suku Besar Yerisiam kini dimasuki dan dikuasai oleh mereka yang datang ke Nabire atas nama pengungsian. Tanah-tanah adat kami diklaim tanpa izin. Ini tidak boleh, karena konflik jangan sampai melahirkan konflik baru,” ujar Roberthino.
Ia menegaskan, pihaknya prihatin terhadap korban konflik di pegunungan. Namun pemerintah harus cermat mengatur penempatan pengungsi. Jika tidak, hak masyarakat adat di pesisir akan terabaikan dan bisa menimbulkan ketegangan horizontal.
Desakan ini menjadi peringatan keras agar DPRK Nabire dan Pemerintah Kabupaten tidak sekadar mengikuti arus birokrasi. Bagi Suku Besar Yerisiam Gua, pengungsian harus ditangani dengan kebijakan jelas—bukan dengan membiarkan tanah adat mereka menjadi sasaran klaim sepihak.














