MPN – NABIRE. Mengambil tema, “Dialog Kemanusiaan sebagai Fondasi Pembangunan Papua Tengah”, Selasa (14/10) 2025 hari ini mulai 09.00 Wit – selesai akan digelar Hearing dialog oleh Pimpinan DPRD Papua Tengah dan Pansus Kemanusiaan DPRD Papua Tengah di Auditorium RRai Nabire, Provinsi Papua Tengah.
Direncanakan pesertanya adalah warga masyarakat korban pengungsian, sejumlah akademisi, kaum perempuan, mahasiswa, aktivis, dan masyarakat adat. Hadir sebagai keynote speacker adalah Wakil Ketua IV DPRPT, John N.R. Gobai. Anggota DPRPT Ketua Pansus Kemanusiaan, Yohanes Kemong. Bahkan Wakil Ketua DPD RI, Yorris Raweyai.
Dikatakan Yohanes Kemong, rencana Hearing dialog ini perlu dilaksanakan karena, Papua Tengah kini sedang menulis satu bab penting dalam sejarahnya, yakni bab tentang keberanian untuk mendengar dan mencari jalan pulang bagi sesama anak bangsa.
“Hari ini, kita tidak sedang membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi bagaimana memulihkan kehidupan yang sempat porak-poranda oleh situasi yang penuh ketegangan dan rasa takut,”.ujarnya.
Sejak tahun 2020, lanjutnya, sejumlah wilayah di Tanah Papua terutama Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya mengalami dinamika sosial dan keamanan yang memaksa banyak warga meninggalkan kampung halaman. Ada yang pergi ke Nabire, ada yang mencari perlindungan di gereja, ada pula yang hidup berpindah antar distrik demi bertahan hidup.
Namun dibalik angka dan laporan itu, ada wajah-wajah manusia yang tetap ingin kembali ke rumah, membuka kebun, mengajar di sekolah, dan hidup dengan damai seperti sediakala.
Forum hearing dialog hari ini adalah ruang untuk mendengar bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan hati.
“Kita mendengar suara masyarakat pengungsi yang merindukan kepastian. Kita mendengar pemerintah daerah yang bergulat mencari solusi di tengah keterbatasan. Kita mendengar aparat yang berupaya menjaga keamanan sambil berhadapan dengan kompleksitas di lapangan. Dan kita mendengar tokoh adat, perempuan, mahasiswa, serta akademisi yang menyerukan agar kemanusiaan tetap menjadi dasar dalam setiap langkah kebijakan,” jelasnya lagi
Dari semua suara ini, semuanya akan bisa belajar bahwa Papua tidak kekurangan niat baik yang dibutuhkan, yakni kesepahaman. Kesepahaman bahwa keamanan tidak bisa ditegakkan tanpa keadilan sosial, dan perdamaian tidak akan lahir tanpa keberanian untuk berdialog.
Dari hasil berbagai riset dan pemantauan lapangan, ada tiga pendekatan yang dapat menjadi jembatan menuju penyelesaian semuanya itu.
1. Pendekatan kemanusiaan, dengan menjamin keselamatan, pangan, pendidikan, dan kesehatan bagi para pengungsi, tanpa memandang latar belakang mereka.
2. Pendekatan hukum dan tata kelola, dengan memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten; memastikan perlindungan hukum bagi warga sipil, serta membuka ruang dialog dengan kelompok yang terlibat konflik untuk membangun rasa saling percaya.
3. Pendekatan adat dan budaya, karena di Tanah Papua, perdamaian sejati lahir dari musyawarah, ritual adat, dan penghormatan terhadap nilai-nilai hidup bersama. Kepala suku, pendeta, dan tokoh perempuan memiliki peran besar dalam memulihkan hubungan sosial yang sempat retak.
Dengan tiga pilar ini, niscaya semua bisa menegaskan bahwa penyelesaian konflik dan pengungsian tidak hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh elemen masyarakat.
Nabire hari ini menjadi tempat perjumpaan antara hati dan harapan. “Kita mengirim pesan ke seluruh Papua Tengah bahwa dialog adalah jalan terbaik menuju kedamaian yang adil. Kita ingin pengungsi dapat pulang dengan aman, anak-anak kembali belajar, petani kembali ke kebun, dan pemerintah bersama aparat keamanan membangun kepercayaan baru di tengah masyarakat,” pesan Yohanes Kemong selaku penyelenggara sekaligus Ketua Pansus Kemanusiaan DPRPT.
Papua Tengah harus menjadi contoh bahwa perdamaian bisa dimulai dari keberanian untuk saling mendengar. Bahkan di antara semua yang hadir hari ini baik masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, aktivis, serta para pemimpin politik. Semuanya adalah bagian dari proses panjang untuk menyembuhkan luka, bukan memperdalamnya.
Dialog ini juga diharapkan menjadi langkah awal menuju rekonsiliasi, keadilan, dan kehidupan yang lebih manusiawi di tanah yang dicintai bersama, yakni Papua Tengah.














