CATATAN Kritis Julles R.A. Ongge, SH.,MH selaku Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia Papua (Posbakumadin/PERADIN) yang diterima Redaksi momenpapuanews.com (MPN), terkait meninggalnya Irene dan bayi yang dikandungnya setelah proses rujukan beruntun dari beberapa rumah sakit di wilayah Sentani dan Jayapura pada 16–17 November 2025. Ia menilai, ada dugaan penolakan layanan gawat darurat serta keterlambatan penanganan medis yang berkontribusi pada kematian ibu dan bayi.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Julles menjelaskan kronologi yang diperoleh dari keluarga korban, sejak Irene masuk ke RS Yowari, Doyo Baru hingga dinyatakan meninggal dalam perjalanan rujukan.
Kronologi Korban Masuk RS Yowari, Ketuban Pecah, Persalinan Tidak Maju
Menurut keterangan keluarga bahwa pada, Minggu (16/11) 2025 sekitar pukul 13.25 WIT, Irene tiba di RS Yowari dalam kondisi kontraksi sedang dan menunggu proses persalinan. Sebelumnya, dokter kandungan disebut memperkirakan berat bayi sekitar 4 kilogram, sehingga pihak keluarga memilih persalinan di rumah sakit.
Setibanya di RS Yowari, kontraksi dikabarkan semakin kuat dan ketuban pecah beberapa menit kemudian. Irene lalu dipindahkan oleh tiga perawat ke ruang persalinan. Namun, keluarga menyampaikan bahwa, sejak pukul 14.45 hingga sekitar pukul 23.00 WIT, persalinan tidak menunjukkan kemajuan.
“Keluarga berkali-kali menanyakan tindakan lanjutan karena ketuban sudah pecah. Perawat menjawab akan konsultasi dulu ke dokter,” tulis Julles mengutip keluarga.
Keluarga kemudian mengaku mendapat informasi dari perawat senior bahwa dokter kandungan berada di luar daerah sejak tiga hari sebelumnya. Keterangan ini membuat keluarga meminta agar pasien segera dirujuk ke rumah sakit lain.
Rujukan ke RS Dian Harapan Ditolak
Setelah permintaan rujukan, perawat kembali menghubungi dokter. Keluarga menerima informasi bahwa RS Dian Harapan bisa menerima pasien. Irene kemudian dibawa ke RS Dian Harapan sekitar pukul 12.10 WIT dengan didampingi tiga perawat RS Yowari serta surat rujukan.
Keluarga menyatakan, mereka tiba di IGD RS Dian Harapan pukul 12.30 WIT. Namun, dokter jaga di IGD disebut menyampaikan rumah sakit belum dapat menerima pasien karena kapasitas penuh.
“Keluarga mempertanyakan komunikasi antar rumah sakit, karena sebelumnya diinformasikan sudah ada persetujuan rujukan. Sementara kondisi pasien mulai lemah, keluar bercak darah dari serviks, dan ada gangguan pernapasan,” tulisnya.
Rujukan ke RS Abepura Kembali Ditolak
Karena penolakan itu, keluarga membawa pasien ke RS Pemerintah di Kamkey Abepura dan tiba sekitar pukul 13.14 WIT. Menurut keluarga, RS Abepura juga menyatakan belum mampu menampung pasien.
Keluarga menggambarkan kondisi Irene semakin kritis, menangis meminta pertolongan, dan mengaku sudah tidak kuat lagi. Meski demikian, pihak RS disebut tetap menolak tanpa penjelasan yang dirasa memadai.
RS Bhayangkara Minta DP, Pasien Terus Melemah
Keluarga sempat mempertimbangkan membawa pasien ke RS Dok II. Namun ayah dari pihak keluarga korban, Yansen Kabey (Kepala Kampung Hobong), meminta agar pasien diarahkan lebih dulu ke RS Bhayangkara.
Di RS Bhayangkara, keluarga diberi informasi bahwa ruang ekonomi penuh dan hanya tersedia ruang VIP. Keluarga meminta agar pasien diterima lebih dahulu karena kondisi gawat darurat. Namun, menurut keluarga, pihak rumah sakit meminta uang muka (DP) sebesar Rp4 juta terlebih dulu sebelum pasien ditangani lebih lanjut. Situasi ini memicu perdebatan karena pasien disebut sudah kehilangan banyak darah.
Meninggal dalam Perjalanan
Akhirnya keluarga memutuskan membawa pasien ke RS Dok II sekitar pukul 03.00 WIT dini hari. Dalam perjalanan, keluarga menyebut pasien mengalami pendarahan hebat, bahkan darah keluar dari mulut dan hidung.
Sekitar tiga menit setelah meninggalkan RS Bhayangkara, tepat di turunan jalan keluar Entrop, Irene dinyatakan mengembuskan napas terakhir. Ambulans putar balik ke RS Bhayangkara untuk memastikan kondisi pasien. Setelah tindakan di ruang ICU, dokter menyatakan pasien telah meninggal dunia. Jenazah kemudian dibawa kembali ke RS Yowari.
Keluarga: “Keselamatan Pasien Tidak Jadi Prioritas”
Julles menyampaikan bahwa keluarga besar korban tidak menerima rangkaian pelayanan yang dialami, terutama karena dokter kandungan di RS Yowari tidak hadir, serta penolakan berulang di RS Dian Harapan, RS Abepura, dan RS Bhayangkara.
“Keluarga menilai keselamatan pasien tidak ditempatkan di atas segalanya. Ini tragedi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi di pusat layanan kesehatan seperti Sentani dan Jayapura,” tulisnya.
Dugaan Pelanggaran HAM
Dalam catatan kritisnya, Julles menilai ada dugaan pelanggaran HAM, meliputi Hak atas hidup (Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM); Hak atas kesehatan (Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 dan Konvenan ICESCR); Hak atas perlakuan manusiawi (Pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999); Hak bebas dari diskriminasi dalam pelayanan kesehatan.
Dasar Hukum yang Dilanggar
Julles menyebut beberapa aturan yang menurut mereka dilanggar adalah UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: pasien berhak atas layanan bermutu dan tidak diskriminatif. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit: rumah sakit dilarang menolak pasien gawat darurat. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: tenaga kesehatan wajib memberi layanan sesuai standar profesi. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran: dokter wajib memberi layanan sesuai etika dan standar profesi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: hak hidup dan hak kesehatan wajib dilindungi. Pasal 304 KUHP: dugaan sengaja membiarkan orang dalam keadaan sengsara padahal wajib memberi pertolongan.
Tuntutan dan Langkah Lanjut
Julles menyatakan keluarga wajib menempuh langkah hukum dan administratif yang terdiri dari (1). Langkah pidana terhadap rumah sakit dan tenaga medis yang diduga menolak atau lalai menangani pasien gawat darurat. (2). Gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi materiel dan immateriel. (3). Langkah administratif ke Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan RI agar rumah sakit terkait diberi sanksi, mulai dari teguran, denda, hingga pencabutan izin. (4). Pelaporan ke Komnas HAM untuk penyelidikan dugaan pelanggaran HAM.
Menanti Klarifikasi Resmi
Hingga berita ini diturunkan, pihak rumah sakit yang disebut dalam kronologi keluarga—RS Yowari, RS Dian Harapan, RS Abepura, dan RS Bhayangkara—belum memberikan pernyataan resmi. Redaksi masih berupaya meminta klarifikasi kepada pihak rumah sakit dan pemerintah daerah untuk memperoleh informasi lengkap serta memastikan apakah prosedur layanan gawat darurat telah dijalankan sesuai standar.
Keluarga berharap kasus ini ditangani serius agar tidak terulang. “Kami tidak ingin ada ibu lain yang kehilangan nyawa karena ditolak dari rumah sakit ke rumah sakit,” tulis Julles menutup catatan kritis tersebut.














