DIANTARA hiruk-pikuk ruang sidang dan tumpukan perkara yang setiap hari menyesaki meja pengadilan, sebuah gagasan segar muncul dari Mahkamah Agung. Hakim Agung terpilih, Ennid Hasanuddin, dalam Bimbingan Teknis Mediator bagi Hakim Angkatan IX, Rabu (1/10/25) melontarkan pemikiran yang layak menjadi tonggak baru bagi peradilan Indonesia bahwa, mediasi harus menjadi prasyarat sebelum gugatan diajukan ke pengadilan.
Gagasan ini terdengar sederhana, namun sesungguhnya menyimpan kekuatan besar — sebuah revolusi cara pandang terhadap keadilan itu sendiri. Sebab di balik setiap gugatan, di balik setiap perkara yang diajukan ke meja hijau, selalu ada cerita kemanusiaan yang retak. Apakah rumah tangga yang pecah, saudara yang berseteru, rekan usaha yang berselisih, hingga masyarakat yang berhadapan dengan lembaga negara.
“Ke depannya, bagi pihak yang hendak mengajukan gugatan harus menempuh upaya mediasi terlebih dahulu yang dibuktikan dengan berita acara. Jika tidak, gugatan tidak dapat diterima,” tegas Ennid.
Bayangkan jika setiap pertikaian tidak langsung dilempar ke ruang sidang, tetapi didudukkan lebih dulu di ‘teras rumah’ Mediasi — seperti yang digambarkan Ennid. Di sana, para pihak diajak berbicara, mendengar, dan memahami. Tidak lagi berhadapan sebagai musuh, tetapi sebagai manusia yang sama-sama terluka.
Mediasi bukanlah kelemahan, justru itulah bentuk tertinggi dari keberanian untuk mengalahkan ego, untuk membuka hati, dan memberi kesempatan pada damai sebelum palu hakim dijatuhkan.
Langkah-langkah ke arah itu pun mulai disiapkan. Mahkamah Agung tengah merancang petunjuk teknis mediasi elektronik, dari tata cara administrasi, penunjukan mediator melalui sistem, verifikasi identitas, ruang virtual mediasi, hingga penyampaian laporan. Semua itu untuk memastikan proses mediasi berjalan efisien dan dapat diakses dari mana saja.
Bahkan lebih jauh, Ennid mendorong agar akta perdamaian hasil mediasi bisa didaftarkan ke pengadilan dan memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, kesepakatan damai itu bukan hanya janji di atas kertas, tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti putusan hakim.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa negara tidak lagi hanya ingin “mengadili”, tetapi juga memulihkan. Bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana luka sosial bisa disembuhkan dan hubungan yang rusak bisa dirajut kembali.
Di negeri yang masih sering menyaksikan konflik berkepanjangan, dari sengketa tanah hingga perebutan warisan, dari perseteruan keluarga hingga perpecahan komunitas, terobosan ini adalah kabar baik. Ia mengajarkan kita bahwa, keadilan bisa dicapai tanpa kebencian, bahwa perdamaian bisa lebih berharga daripada kemenangan.
Dan di tengah semua itu, pesan sederhana Ennid menggema seperti nasihat yang tak lekang waktu. “Bekerjalah dengan hati, dengan sepenuh hati, dan dengan hati-hati.” Sebab pada akhirnya, hukum bukan sekadar teks undang-undang. Ia adalah jalan kemanusiaan — jalan yang membawa kita dari luka menuju pemulihan, dari permusuhan menuju perdamaian.
Redaksi Momen Papua News
“Tajam Memberitakan, Mengawali Perubahan”











Hukum di TEGAHKAN PENGLIMA KEDAIMAAN ABADI .