Lindungi Tanah dan Laut Ulayat

Warga Suku Yerisiam Gua Bahas Peraturan Kampung Sima

Warga Kampung Sima di wilayah Suku Besar Yerisiam Gua, Kabupaten Nabire - Provinsi Papua Tengah. (Foto:Obeth)
banner 120x600

MPN – NABIRE. Suku Besar Yerisiam Gua bersama Pemerintah Kampung Sima dan LSM Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), Senin (39/09) 2025 menggelar pembahasan finalisasi Peraturan Kampung (Perkam) Sima. Sekaligus menetapkan zonasi darat dan laut di wilayah adat Yerisiam Gua, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Papua Tengah.

Sejak Sima ditetapkan sebagai Kampung (Desa), belum ada regulasi yang secara resmi mengatur pengelolaan wilayah adat. Akibatnya, sumber daya alam hutan maupun laut kerap dimasuki pihak luar tanpa kendali.

Sekretaris Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Sima, Yohanis Rarawi menegaskan bahwa, Perkam menjadi pijakan penting agar pemerintah kampung memiliki dasar hukum untuk menarik retribusi, mengatur zonasi, serta menjamin keberlanjutan generasi mendatang.

“Selama ini, orang bebas masuk dan menjarah hasil laut maupun hutan kami. Dengan adanya Perkam, ada aturan pengelolaan dan sanksi yang jelas, baik untuk orang luar maupun masyarakat kami sendiri,” ujar Rarawi.

Sekretaris Suku Besar Yerisiam Gua, Roberthino Hanebora menambahkan, keberadaan Perkam sekaligus menjadi “kompas” bagi masyarakat adat. Aturan zonasi dan praktik sasi yakni, larangan mengambil hasil laut atau hutan dalam periode tertentu dipandang sebagai tabungan ekologis untuk generasi berikutnya.

“Hutan Yerisiam sudah semakin sedikit, laut pun dijarah pihak luar. Perkam ini menjadi batas agar kita tidak rakus. Sasi adalah tabungan kita di bank waktu, untuk masa depan anak cucu,” kata Roberthino.

Ia juga berharap, model Perkam Sima bisa menjadi contoh bagi kampung-kampung adat lainnya di Nabire, agar kekayaan alam tidak habis oleh kebijakan pembangunan yang sering abai pada hak ulayat masyarakat.

Perwakilan Yayasan PILI, Andi menyampaikan bahwa lembaganya akan terus mendukung pemetaan zonasi laut maupun darat. Dari hasil pengamatan, terdapat sejumlah kawasan darat yang menyimpan potensi flora-fauna endemik, termasuk burung cenderawasih, yang perlu dilindungi.

“Kami mendorong agar pengelolaan ini tidak hanya melindungi laut dari eksploitasi, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati di darat,” kata Andi.

Pemetaan partisipatif oleh Yayasan Pusaka pada 2018 mencatat tanah adat Yerisiam Gua seluas 100.173,87 hektare. Sebagian wilayah itu, kini menjadi konsesi perkebunan sawit PT Nabire Baru dan PT Sariwana Adi Perkasa yang beroperasi sejak 2011 berdasarkan izin usaha perkebunan yang diteken mantan Plt Gubernur Papua, Constant Karma pada 2008 silam.

Selain potensi hutan, laut dan wisata bahari juga menjadi aset penting masyarakat adat. Namun tanpa aturan tegas, kekayaan alam ini terus terancam eksploitasi.

PILI Green Network adalah LSM yang berfokus pada konservasi lingkungan. Sejak 2009, lembaga ini aktif melakukan kampanye, penelitian, hingga pendampingan masyarakat di berbagai daerah. Di Nabire, PILI telah empat tahun mendampingi Suku Yerisiam Gua melalui program “Konservasi Nabire. Menjaga Hutan, Menguatkan Masyarakat”, termasuk dalam pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi di konsesi perusahaan sawit.

Penulis: Roberthino HaneboraEditor: Sam nussy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *