Oleh: Roberthino Hanebora (Sekertaris Suku Besar Yerisiam Gua)
ADA satu pertanyaan yang terus menggema, merambat dari diskusi-diskusi kecil di dalam honai, terdengar di balai-balai kampung, hingga menyusup ke ruang-ruang dingin birokrasi. Kemana sebenarnya arah dana Otonomi Khusus berjalan?
Pertanyaan ini tidak lahir dari kecurigaan kosong, melainkan tumbuh dari kenyataan pahit di lapangan. Dana Otonomi Khusus (Otsus), yang sejatinya dijanjikan sebagai instrumen afirmasi bagi Orang Asli Papua (OAP), kian hari terasa makin tersesat. Ia terjebak di tengah sistem yang tidak disiplin, mekanisme yang tidak seragam, serta kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum dipersiapkan secara memadai.
Secara yuridis, amanat Undang-undang sudah sangat terang benderang. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, beserta aturan turunannya – PP 106 dan 107 Tahun 2021 tentang kewenangan dan dana manfaat OAP, serta Permendagri 90/2019 – telah mewajibkan negara dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa, Otsus adalah benteng keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan. Prioritasnya tegas pada pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur dasar untuk OAP, bukan sekadar dana pembangunan umum bagi “siapa saja yang kebetulan tinggal di Papua“.
Namun, di Provinsi Papua Tengah hari ini, mekanisme afirmasi itu tampak meredup. Bukan semata karena niat buruk, tetapi lebih karena keadaan yang belum tertata. Daerah Otonomi Baru (DOB) yang masih mencari bentuk, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berjalan tanpa standar baku, hingga minimnya pelatihan bagi SDM teknis. Akibatnya, anggaran berjalan sendiri-sendiri, laporan menjadi tidak seragam, dan OAP kembali berisiko menjadi penonton dari kebijakan yang seharusnya mengangkat derajat mereka.
Di tengah kerumitan tata kelola daerah baru ini, kita perlu sejenak menengok ke belakang, membuka kembali lembar sejarah pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (2006–2011). Era tersebut menghadirkan satu model pembangunan kampung yang paling konsisten menuai keberhasilan, yakni RESPEK (Rencana Strategi Pengembangan Kampung).
Keberhasilan RESPEK, bukanlah cerita tentang gelontoran dana raksasa. Kala itu, setiap kampung hanya menerima kisaran Rp100 juta hingga Rp300 juta. Namun, yang menjadikannya monumental adalah empat fondasi sistemik yang justru hilang hari ini.
Pertama, adanya pendampingan berlapis. Alur tanggung jawab ditarik tegas dari kampung, distrik, kabupaten, hingga provinsi. Kontrol, audit, dan evaluasi hadir di setiap jenjang, menutup celah kebocoran.
Kedua, SDM kampung yang dilatih secara teknis. Masyarakat tidak hanya diberi uang, tetapi diberi “kail” berupa kemampuan manajerial. Mereka dilatih menyusun rencana kampung, membuat laporan fisik, menyusun laporan keuangan, hingga mendokumentasikan program.
Ketiga, sistem pelaporan yang sederhana namun disiplin. Bukti fisik berupa foto progres, kuitansi, dokumen ResKam (Rencana Kampung), dan audit lapangan menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar.
Keempat, program yang kontekstual. Dana diarahkan pada kebutuhan riil : air bersih, perumahan, gizi, pendidikan dasar, hingga ekonomi kebun dan perikanan. Tidak ada program “titipan” yang tidak bisa dieksekusi oleh kampung.
RESPEK adalah bukti empiris bahwa, ketika sistem diperkuat, masyarakat adat memiliki kapasitas untuk membangun dirinya sendiri.
Sebagai “rumah baru”, Papua Tengah sedang dibangun di atas fondasi yang belum sepenuhnya kokoh. Masalah utamanya bukan sekadar pada ketersediaan anggaran, melainkan pada ketidaksiapan struktural dan teknis.
Dokumen perencanaan vital seperti RPJMD dan Renstra OPD sering kali belum lengkap atau belum terintegrasi. SDM teknis terutama di bidang perencanaan dan pelaporan belum mendapatkan pelatihan yang memadai. Ironisnya, penggunaan sistem aplikasi seperti SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) dipaksakan tanpa pendampingan yang cukup.
Kondisi ini diperparah dengan absennya “paket program afirmasi OAP” yang seragam. Setiap kabupaten berjalan dengan visi dan selera politik masing-masing. Tanpa adanya data tunggal OAP yang valid, verifikasi penerima manfaat menjadi kabur. Akibatnya, dana Otsus yang menurut UU 2/2021 adalah “dana khusus” yang harus memihak, berubah menjadi dana umum yang “terserah OPD masing-masing”. Penerima bantuan tidak selalu OAP, kontraktor melupakan tenaga kerja lokal, dan program kampung kehilangan roh afirmasinya.
Jika Papua Tengah ingin memperkuat tata kelola Otsus, jawabannya tidak perlu dicari dengan menciptakan program-program baru yang rumit. Kuncinya adalah menghidupkan kembali prinsip-prinsip RESPEK, yang diperkuat dengan regulasi Otsus terbaru. Berikut adalah langkah korektif yang mendesak untuk dilakukan :
1. Menetapkan Standarisasi Program Afirmasi. Provinsi harus menetapkan program wajib yang seragam di seluruh kabupaten, khususnya pada sektor pendidikan, kesehatan dasar, ekonomi berbasis OAP, dan infrastruktur kampung. Ini mutlak diperlukan agar arah Otsus tidak liar.
2. Investasi pada Kompetensi Manusia. Tidak ada gunanya sistem canggih tanpa operator yang andal. Pelatihan penyusunan anggaran, pelaporan fisik-keuangan, audit internal, hingga pendataan OAP harus dilakukan secara masif. Jika tidak, Otsus akan terus dikelola oleh mereka yang tidak memahami konteks.
3. Mengembalikan Pendampingan Berlapis. Provinsi harus membangun kembali struktur pendampingan mulai dari level kampung, distrik, hingga tim pengendali di kabupaten dan provinsi. Setiap rupiah yang keluar harus melalui audit berjenjang yang sederhana namun konsisten.
4. Basis Data Tunggal Orang Asli Papua. Tanpa data by name by address yang mencakup marga dan wilayah adat, segala bentuk bantuan rentan salah sasaran. Ini adalah amanat hukum yang harus segera dieksekusi sebagai basis afirmasi.
5. Integrasi Laporan Manual dan Digital. Jangan memaksakan digitalisasi di area yang belum siap infrastrukturnya. Solusinya adalah hybrid : laporan manual yang sederhana untuk akuntabilitas fisik, dan laporan digital untuk integrasi pusat. SDM harus siap untuk keduanya.
6. Memperkuat Taring MRP. Majelis Rakyat Papua (MRP) dan dewan adat harus diberi peran formal dalam SOP pengawasan anggaran. Mereka harus memiliki wewenang untuk menegur OPD yang melenceng dari prinsip prioritas OAP.
Papua tidak kekurangan uang. Yang kurang dari tanah ini adalah kapasitas SDM yang terlatih, keseragaman mekanisme, kedisiplinan pelaporan, serta keberanian untuk mengadopsi kembali model yang pernah terbukti berhasil.
Jika Papua Tengah ingin benar-benar berdiri sebagai provinsi yang menghormati hak-hak Orang Asli Papua, langkah pertamanya bukanlah meminta tambahan anggaran, melainkan membangun kerangka kerja yang manusiawi, disiplin, dan berbasis data. Sebab, seperti yang kerap disampaikan para tetua di forum-forum adat : dana boleh besar, tetapi tanpa manusia yang siap mengelolanya, Otsus hanyalah deretan angka tanpa arah














