(Sebuah Tawaran Gagasan Membangun Papua Dalam Satu Jati Diri)
Oleh : Jake Merril Ibo, S.Th., M.Si
PAPUA adalah mozaik keberagaman: tradisi adat yang beraneka, suku yang berbeda bahasa, panorama alam yang eksotis, dan pengalaman hidup masyarakat yang unik. Semua elemen ini memberi warna dan kekayaan yang tidak dimiliki provinsi lain di Indonesia. Namun, di balik keindahan dan potensi itu, ada kenyataan bahwa Papua juga membawa beban konflik, ketidaksetaraan, dan kebijakan yang sering tidak berpihak pada Orang Asli Papua (OAP).
Koalisi Pelangi di sini menjadi sebuah tawaran gagasan agar Papua mesti disatukan dalam keragaman, bukan dipisah-pisah oleh perbedaan. Ini bukan hanya soal identitas, tetapi soal efektivitas kepemimpinan dan keadilan dalam Pembangunan di seluruh Tanah Papua. Bagaimana jika suara dari setiap suku, adat, pemerintah lokal, gereja, pemuda, akademisi, dan masyarakat sipil duduk dalam satu meja: sama derajatnya, sama haknya untuk didengar di atas Tanah leluhurnya yaitu Tanah Papua?
Sudah saatnya OAP kembali menegaskan jati dirinya sebagai satu darah, meski kini terbagi dalam beberapa provinsi. Dengan semangat Koalisi Pelangi Papua, bersama-sama kita perlu menolak pandangan sempit yang memisahkan OAP berdasarkan wilayah administratif, seolah-olah orang dari Papua Barat hanya berhak di Papua Barat, dan orang dari Pegunungan hanya pantas di pegunungan, dan Provinsi papua yang lainnya di masing-masing wilayah administratifnya.
Papua adalah satu rumah besar. Orang Papua berhak tinggal, bekerja, memimpin, dan berkontribusi di provinsi mana pun di Tanah Papua tanpa dianggap sebagai “orang lain.” (The Others)
Sampai saat ini, masih terlihat sisa-sisa cara pandang sempit, misalnya dalam sistem demokrasi local, bahwa calon kepala daerah harus berasal dari kelompok suku tertentu atau hanya diterima di wilayahnya sendiri. Ini perlu dihindari dari nilai dasar persaudaraan dan kesatuan ras Orang Asli Papua, yang seharusnya tidak bisa dipisahkan oleh batas provinsi atau wilayah adat.
Gagasan perlunya Koalisi Pelangi Papua bukan hanya tentang politik, tetapi tentang identitas bersama. Hal ini menegaskan bahwa warna-warni suku, bahasa, adat dan budaya di Papua adalah kekuatan, bukan pembeda. Bahwa setiap OAP, dari Sorong sampai Merauke, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun Tanah Papua. “Satu darah, banyak warna, bukan untuk dibedakan, tetapi untuk saling melengkapi.”
Dengan semangat koalisi pelangi, OAP bisa menjadi pemimpin di mana saja, bekerja di mana saja, dengan satu tekad yaitu Satu Jati Diri. Inilah wujud nyata persaudaraan sejati. Papua untuk semua OAP, dan semua OAP untuk Papua.
A. Mengapa Papua Memerlukan Koalisi Pelangi?
1. Kompleksitas Masalah
Masalah Papua bukan satu-dimensi. Ada persoalan keamanan, sumber daya alam, pelanggaran HAM, pendidikan, kesehatan, akses infrastruktur, dan hak masyarakat adat. Studi seperti “Analysis of Causes and Intervention Design for the Papua Conflict berdasarkan Structural, Accelerator, and Trigger (SAT) Model” menunjukkan bahwa penyebab konflik di Papua tidak hanya struktural (misalnya kemiskinan, marginalisasi) tetapi juga dipacu oleh faktor pemicu akut (peristiwa-peristiwa tertentu) dan akselerator sosial-politik. Jika OAP jalan sendiri-sendiri, OAP tidak kuat dan berpotensi akan punah.
2. Kepemimpinan Strategis yang Lemah
Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Kepemimpinan Strategis, dapat dikatakan bahwa masa lalu kepemimpinan di Papua sering bergantung pada respons keamanan atau pembangunan fisik saja. Padahal, kepemimpinan strategis harus melibatkan dialog lintas pihak dan respons terhadap aspirasi masyarakat adat dan kelompok terdampak lainnya. Ketidakmampuan mengambil keputusan yang cepat, berani, dan inklusif menjadi salah satu penghambat utama.
Gagasan Koalisi Pelangi Papua menjadi momentum saatnya Bergerak Bersama, Bukan Sendiri, sekalipun Tanah Papua kini terbagi menjadi enam provinsi: Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. Namun, di balik pembagian administratif ini, realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang tidak kecil, mulai dari keamanan, pelanggaran HAM, pengelolaan sumber daya alam, pendidikan, kesehatan, hingga akses infrastruktur dan hak-hak masyarakat adat.
Persoalan-persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan secara sektoral atau parsial. Pendekatan teknokratis yang hanya mengandalkan satu lembaga atau satu provinsi tidak akan cukup. Papua memerlukan gerakan kolaboratif lintas wilayah dan lintas lembaga, sebuah “Koalisi Pelangi” yang mempersatukan kekuatan moral, politik, dan sosial di seluruh Tanah Papua.
Koalisi Pelangi bukan sekadar ide simbolik. Ia adalah panggilan moral dan politik untuk membangun sistem kerja bersama di Tengah-tengah bangsa dan diantara semua pemangku kepentingan Papua: pemerintah daerah, lembaga adat, gereja, organisasi masyarakat sipil, dan kaum intelektual.
Dalam konteks ini, Majelis Rakyat Papua (MRP) memiliki peran sentral. MRP tidak cukup hanya membentuk asosiasi antarprovinsi atau sekadar memperkuat koordinasi kelembagaan. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata yang memprakarsai gerakan lintas provinsi serta mempertemukan semua elemen OAP dalam satu komitmen: membangun Papua tanpa batas administratif.
Selain MRP, Asosiasi DPRP dan DPRK se-Tanah Papua perlu mengambil langkah konkrit untuk memperkuat sinergi kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat dan hak-hak OAP di semua wilayah. Demikian pula, Asosiasi Bupati dan Gubernur se-Papua harus bergerak seirama untuk membangun “Papua Raya yang kolaboratif.”
Gagasan koalisi Pelangi menuntut kerja bersama, bukan kompetisi wilayah, bukan sektarianisme birokratis, dan bukan sekadar forum seremonial.
Coba kita bayangkan sebuah Pulau Papua Raya yang utuh di mana setiap orang asli Papua (OAP) bisa hidup, bekerja, berkarya, dan memimpin di provinsi mana pun di Tanah Papua, tanpa dicurigai, tanpa dianggap orang luar. Inilah tujuan dan semangat Koalisi Pelangi: satu darah, banyak warna.
“Koalisi Pelangi bukan tentang siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kita bersama-sama berdaya.” Hanya dengan kerja lintas batas, lintas lembaga, dan lintas egosentrisme, Papua bisa bergerak menuju masa depan yang inklusif, adil, damai dan sejahtera.
Karena itu kini, yang dibutuhkan bukan lagi wacana, melainkan tindakan nyata.
MRP, DPRP, DPRK, Gubernur, dan Bupati se-Tanah Papua harus menjadikan Koalisi Pelangi sebagai agenda moral dan politik bersama, karena Papua tidak bisa dibangun sendiri-sendiri. Papua hanya bisa dibangun bersama-sama, dalam semangat pelangi yang mempersatukan perbedaan untuk satu cahaya: Papua yang damai, bermartabat, dan sejahtera.
B. Tiga Unsur Moral Koalisi Pelangi Papua (Menjaga Alam, Martabat, dan Kesetaraan Orang Asli Papua)
Koalisi Pelangi Papua bukan hanya sebuah gagasan politik atau forum dialog, melainkan sebuah gagasan yang mendorong terbentuknya gerakan moral dan sosial yang mengajak seluruh elemen masyarakat Papua, baik pemerintah, lembaga adat, gereja, dan warga sipil, untuk menjaga tiga unsur penting yang menjadi dasar kehidupan bersama di Tanah Papua.
1. Menjaga Alam Papua yang Lestari
Papua adalah paru-paru dunia dan rumah bagi jutaan spesies flora dan fauna unik. Koalisi Pelangi menjadi sebuah semangat dan wadah yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam, terutama tambang dan hutan, tidak boleh merusak keseimbangan ekologis Papua. Setiap kebijakan ekonomi dan investasi harus berorientasi pada keberlanjutan, keadilan ekologis, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Bumi Papua bukan hanya sumber kekayaan, tetapi sumber kehidupan Papua, Indenesia dan Dunia.
2. Tidak Boleh Ada Orang Papua yang Miskin, lapar, melarat, dan tidak mendapat kesempatan kerja di Era Otsus
Otonomi Khusus (Otsus) adalah kesempatan emas untuk memperbaiki kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP). Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak OAP yang hidup dalam kemiskinan struktural. Melalui Koalisi Pelangi perlu lahir komitmen agar setiap rupiah dana Otsus digunakan secara tepat guna dan tepat sasaran, terutama untuk pendidikan, kesehatan, dan peningkatan pendapatan per-kapita OAP. Tidak boleh ada OAP yang lapar, tidak boleh ada OAP yang tidak mendapat Pendidikan dan Kerja yang layak, dan mendapat penghidupan yang adil. Selama ada Dana Otsus, OAP wajib Bahagia. “Otsus bukan hadiah, melainkan tanggung jawab moral dan keadilan sosial untuk semua OAP.”
3. Kesetaraan Hak dan Kewajiban Orang Asli Papua
Gerakan moral Koalisi Pelangi perlu merumuskan sebuah komitmen bersama bahwa seluruh OAP, tanpa memandang provinsi (6 Provinisi di Tanah Papua), suku, atau wilayah asal, memiliki hak dan kewajiban yang sama di atas Tanah Papua. Setiap anak Papua berhak untuk hidup, bekerja, berkarya, dan memimpin di mana pun di Tanah Papua, tanpa diskriminasi. Kesetaraan ini adalah fondasi bagi Papua yang damai, inklusif, dan bersatu. “Satu darah, banyak warna , satu hak, satu tanggung jawab, satu masa depan.”
Mewujdukan ke tiga hal di atas, akan melahirkan Gerakan Moral Bersama, atau disebut sebagai roh dari Koalisi Pelangi Papua. Menjaga alam, menegakkan kesejahteraan, dan memperjuangkan kesetaraan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi panggilan bersama seluruh anak Papua. Dengan semangat pelangi yang menyatukan warna-warni dalam satu cahaya, Papua bisa menjadi tanah yang lestari, adil, dan bermartabat untuk semua OAP.
C. Hambatan dan Tantangan Nyata Menuju Koalisi Pelangi Papua
1. Fragmentasi Politik dan Ego Kelembagaan
Sejak pembentukan enam provinsi di Tanah Papua, koordinasi antar-pemerintah daerah sering kali berjalan sendiri-sendiri. Setiap provinsi memiliki prioritas, kepentingan, dan gaya kepemimpinan berbeda, bahkan kadang disertai kompetisi terselubung dalam perebutan dana, proyek, dan pengaruh politik.
Alih-alih kolaborasi, muncul fragmentasi. Sehingga Koalisi Pelangi memberi Solusi melalui kerja lintas batas administratif, untuk menghindari ego sektoral dan politik lokal masih dominan. “Papua boleh terbelah bukan oleh sungai dan gunung, tapi jangan oleh kepentingan dan ego kekuasaan.”
2. Kelemahan Kepemimpinan Strategis dan Etika Pelayanan Publik
Beberapa penelitian (misalnya Jurnal Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Kepemimpinan Strategis, Unpad) menegaskan bahwa banyak pemimpin di Papua belum memiliki kapasitas problem solving dan decision making yang kuat. Kepemimpinan masih sering bersifat reaktif, bukan transformatif. Hal ini membuat banyak program lintas sektor, termasuk program Otsus, gagal karena tidak ada koordinasi dan keberlanjutan.
3. Kurangnya Kepercayaan Antar Komunitas OAP
Secara sosial, Papua kaya dengan ratusan suku dan bahasa. Namun realitasnya, prasangka antar kelompok etnis dan wilayah masih kuat, bahkan dalam konteks politik lokal. Masih ada pandangan bahwa “orang gunung” dan “orang pesisir” berbeda kepentingan; bahwa orang dari Papua Barat tidak bisa memimpin dan bekerja di Papua Tengah, dan sebaliknya, dan termasuk untuk provinsi-provinsi lainnya. Prasangka inilah yang menjadi tantangan besar bagi semangat “Satu Darah, Banyak Warna.” Tanpa rekonsiliasi sosial antar suku, Koalisi Pelangi Papua hanya akan menjadi slogan.
4. Eksploitasi Ekonomi dan Ketimpangan Sosial
Papua memiliki kekayaan alam luar biasa, tetapi manfaatnya belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat adat. Investasi tambang dan perkebunan besar sering menimbulkan ketimpangan baru dan kerusakan ekologis. Koalisi Pelangi membutuhkan model ekonomi baru, ekonomi yang manusiawi dan ekologis, bukan eksploitatif. Namun saat ini, belum ada kesepahaman lintas provinsi dan lembaga untuk membangun kerangka ekonomi yang adil bagi OAP.
5. Kelemahan Tata Kelola Dana Otsus
Dana Otonomi Khusus yang besar belum dikelola secara efektif. Transparansi dan akuntabilitas sering lemah, dan belum ada mechanism of joint oversight antarprovinsi.
Untuk itu melalui Gerakan dan semangat Koalisi Pelangi akan melahirkan terobosn integritas finansial kolektif agar keadilan fiskal bisa dirasakan semua OAP, tanpa kecemburuan antar daerah.
6. Minimnya Ruang Mediasi dan Dialog Publik
Papua masih kekurangan ruang aman untuk berdialog lintas kelompok, baik antara aparat dan warga, antarsuku, maupun antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga, Koalisi Pelangi hanya bisa hidup di ruang dialog, bukan di ruang curiga. Lembaga mediasi sipil di Papua seperti Pusat Bantuan Mediasi GKI bisa menjadi wadah awal membangun “mediasi naratif Papua.”
7. Keterbatasan Infrastruktur dan Akses Informasi
Konektivitas antar provinsi di Papua masih lemah. Banyak wilayah belum terhubung dengan baik melalui jalan, jaringan internet, maupun layanan dasar. Kondisi ini menghambat pertukaran gagasan dan kerja kolaboratif antarprovinsi, yang menjadi jantung Koalisi Pelangi.
8. Kurangnya Visi Bersama antar Elit OAP
Sebagian elit politik dan birokrasi OAP masih berpikir dalam kerangka jangka pendek: periode jabatan, proyek, dan politik identitas. Untuk itu diharapakan kehadiran Koalisi Pelangi fokus pada visi jangka panjang lintas generasi, yang menempatkan keberlanjutan sebagai prioritas. Koalisi Pelangi akan lahir hanya jika pemimpin Papua berpikir sebagai negarawan, bukan sekadar politisi.
Koalisi Pelangi Papua adalah cita-cita besar: membangun kesatuan dalam keberagaman, keadilan dalam pembangunan, dan keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya. Namun, cita-cita itu hanya akan terwujud jika ada keberanian moral untuk melampaui batas administratif, ego sektoral, dan prasangka lama. Papua hanya bisa damai jika pelanginya menyala dan pelangi itu hanya muncul bila semua warna hadir bersama setelah badai.
D. Bagaimana Mewujudkan Koalisi Pelangi di papua?
Koalisi Pelangi Papua hanya akan menjadi retorika jika tidak dimulai dengan kesadaran kolektif untuk kerja bersama. Untuk menjadikannya nyata, dibutuhkan langkah-langkah strategis, bertahap, dan kolaboratif lintas aktor, baik di tingkat pemerintah, lembaga adat, gereja, organisasi masyarakat sipil, maupun dunia pendidikan.
1. Membangun Forum Koordinasi Papua Raya
Melalui semangat Koalisi Pelangi, sudah saatnya dibentuk sebuah wadah tetap yang mempertemukan para pemangku kepentingan dari enam provinsi di Tanah Papua: misalnya, Forum Koordinasi Papua Raya (FKPR) dapat menjadi ruang bersama untuk sinkronisasi kebijakan, penyusunan program lintas wilayah, serta pemantauan pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus). Forum ini bukan lembaga politik, melainkan platform moral dan teknokratis yang memperkuat kolaborasi antarlembaga. “Koalisi Pelangi membutuhkan rumah koordinasi agar ide tidak berhenti di pidato dan pencitraan pemimpin daerah.”
2. Inisiatif Kepemimpinan Bersama (Joint Leadership Commitment)
Para pemimpin daerah: Gubernur, Bupati, DPRP, DPRK, dan MRP, perlu membuat Deklarasi Bersama Koalisi Pelangi Papua yang memuat komitmen moral dan kebijakan kolaboratif. Deklarasi ini dapat menjadi acuan bagi setiap provinsi untuk:
- menjamin hak mobilitas dan kesetaraan OAP di seluruh Tanah Papua,
- memperkuat kerja sama ekonomi dan sosial lintas batas,
- membentuk Tim Kolaboratif Pembangunan Papua Raya yang memantau program lintas provinsi.
Kepemimpinan kolektif berarti membagi tanggung jawab, bukan membagi kekuasaan.
3. Membangun Sistem Data Bersama Papua (Papua Data Unity)
Koalisi Pelangi hanya bisa bekerja bila semua pihak memiliki dasar data yang sama.
Diperlukan sistem integrasi data lintas provinsi yang memuat:
- berapa jumlah OAP,
- peta sosial-budaya OAP,
- kondisi ekonomi, kesehatan, pendidikan,
- data sumber daya alam dan lingkungan,
- indikator kesejahteraan OAP.
Dengan data yang terintegrasi, kebijakan bisa lebih tepat sasaran dan akuntabel.
4. Memperkuat Pendidikan dan Dialog Kebhinekaan Papua
Generasi muda Papua perlu memahami arti “Satu Darah, Banyak Warna.” Sekolah, gereja, dan lembaga pendidikan tinggi dapat mengembangkan Kurikulum Kewargaan Papua, berisi nilai-nilai rekonsiliasi, toleransi, dan kepemimpinan lintas suku. Selain itu, forum dialog dan Papua Youth Exchange dapat mempertemukan pemuda antarprovinsi untuk belajar dan membangun jejaring lintas identitas. Pelangi Papua sudah saatnya muncul karena hujan dan matahari hadir bersama; begitu juga persaudaraan Papua.
5. Mendorong Ekonomi Kolaboratif dan Ekologis
Koalisi Pelangi perlu mengembangkan model ekonomi berbasis komunitas (community-based economy) yang menjamin kesejahteraan dan pelestarian alam. Program seperti Koperasi Pelangi Papua, Pasar Adat Bersama, atau Bank Tanah Adat Papua Raya dapat menjadi instrumen ekonomi kolaboratif yang meneguhkan nilai keadilan sosial dan ekologis.
6. Membentuk Dewan Etik dan Moral Papua Raya
Gerakan moral membutuhkan penjaga nilai. Diperlukan Dewan Etik dan Moral Papua Raya yang diisi oleh tokoh adat, gereja, perempuan, akademisi, dan pemuda untuk memastikan setiap kebijakan di Papua tetap berpihak pada kelestarian alam, kesejahteraan rakyat, dan martabat OAP. Dewan ini bisa menjadi pengingat bagi pemerintah dan masyarakat agar Koalisi Pelangi tidak kehilangan arah moralnya.
7. Membangun Mekanisme Mediasi dan Restorasi Sosial
Dalam semangat pelangi, konflik harus diselesaikan dengan dialog dan rekonsiliasi. Koalisi Pelangi dapat membentuk Pusat Mediasi dan Keadilan Restoratif Papua Raya (PMKRP) yang berfungsi untuk: memfasilitasi penyelesaian konflik adat dan sosial, memperkuat hubungan antar-komunitas, menjadi ruang aman bagi suara masyarakat adat dan korban kekerasan.
8. Menghidupkan Gerakan Komunikasi dan Media Pelangi
Media lokal perlu menjadi mitra strategis Koalisi Pelangi dalam membangun kesadaran kolektif. Kampanye seperti #PapuaUntukSemua atau #SatuDarahBanyakWarna dapat dilakukan melalui platform digital, radio, dan media komunitas agar semangat pelangi hidup dalam percakapan publik. Lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil dapat menjadi bagian dari “Ekosistem Komunikasi Pelangi.”
Koalisi Pelangi Papua bukan hanya cita-cita, melainkan arah baru pembangunan Papua.
Ia memanggil setiap anak Papua untuk menjadi jembatan, bukan tembok; menjadi cahaya, bukan bayangan. “Papua akan bersinar bukan karena satu warna yang kuat, tetapi karena semua warna mau berdampingan dalam satu cahaya.”
E. Simpulan: Mimpi Koalisi Pelangi Bukan Utopia
Tawaran Gagasan Koalisi Pelangi Papua adalah panggilan untuk kembali kepada jati diri: satu darah, banyak warna. Ia bukan sekadar gagasan politik, melainkan gerakan moral, sosial, dan ekologis yang menempatkan manusia Papua sebagai pusat pembangunan. Di tengah pembagian administratif menjadi enam provinsi, Papua tidak boleh tercerai-berai oleh ego wilayah, suku, atau jabatan.
Papua adalah rumah bersama. Dari Sorong sampai Merauke, setiap Orang Asli Papua (OAP) perlu memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup, bekerja, memimpin, dan berkontribusi di mana pun di Tanah Papua. Melalui Koalisi Pelangi perlu ditegaskan bahwa persaudaraan sejati tidak dibatasi oleh garis provinsi atau kepentingan politik, melainkan disatukan oleh rasa memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap tanah dan manusia Papua.
Kini, yang dibutuhkan bukan lagi pidato atau forum yang seremonial, tetapi tindakan nyata: kepemimpinan yang kolaboratif, pengelolaan sumber daya yang adil, serta komitmen untuk menjaga alam dan martabat OAP.
Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRP, DPRK, Gubernur, Bupati, dan seluruh elemen masyarakat Papua memiliki tanggung jawab moral yang sama, menyalakan pelita Koalisi Pelangi agar tidak padam oleh ego dan kepentingan sesaat.
Karena pada akhirnya, Papua hanya akan maju bila seluruh warnanya bersatu dalam satu cahaya. Dan cahaya itu adalah Koalisi Pelangi Papua, gerakan untuk merawat tanah, manusia, dan masa depan Papua dalam semangat damai dan kesetaraan.
“Papua tidak membutuhkan tembok baru, melainkan jembatan yang menghubungkan semua warna menjadi satu cahaya.”
(Penulis, adalah Pegiat sosial perdamaian, Mediator Nasional. Tinggal di Timika)















Ade ko terlambat menulis kata² diataa daerah lain sdh maju bepesta dengan mereka punya wilayah hanya Papua saja yg sedang di kacaukan dgn ketidak adilan cacat demokrasi termasuk ade di dalam barisan itu, ade tarik kemnali ade py tulisan itu boleh
Luar biasa Bapa Jake 👏🏼
Papua butuh jembatan untuk menghubungkan semua warna menjadi satu cahaya.