Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Seluruh Tanah Papua dan Pembentukan Komisi Masyarakat Adat

Oleh: John NR Gobai

banner 120x600

PENGAKUAN terhadap masyarakat hukum adat di Tanah Papua bukan sekadar urusan administratif atau legal-formal. Ia merupakan wujud penghormatan terhadap kehidupan sosial, sistem nilai, dan kearifan lokal yang telah ada jauh sebelum negara ini berdiri.

Adat bagi orang Papua bukan sekadar identitas budaya; ia adalah sistem hukum yang hidup (living law) yang mengatur tata kehidupan, kepemilikan tanah, hutan, laut, dan hubungan sosial antar manusia serta dengan alam.

Karena itu, negara wajib hadir untuk mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak masyarakat hukum adat sesuai amanat Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Amanat konstitusi ini kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang menjadi fondasi hukum dan politik bagi pemerintah daerah untuk membangun mekanisme pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Papua secara lebih kontekstual.

Dalam semangat itu, Papua berhak membentuk badan atau komisi khusus di bawah pemerintah daerah yang bertugas memastikan setiap kebijakan publik tidak menegasikan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek.

Dasar Regulasi

Implementasi dari amanat konstitusi dan Otsus tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasi) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Dalam Pasal 1 angka 23, disebutkan bahwa :

“Badan Urusan Masyarakat Hukum Adat adalah badan yang dibentuk oleh Gubernur untuk melaksanakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam tugas perlindungan, pengakuan, dan pemberdayaan hak-hak masyarakat hukum adat.”

Sementara itu, Pasal 3 menjelaskan bahwa tujuan dari Perdasi ini adalah untuk :

1. Memberikan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan hak-hak masyarakat hukum adat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
2. Memberikan kepastian hukum dalam perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, sesuai dengan harkat, martabat, dan kearifan lokal;
3. Menjamin keberadaan masyarakat hukum adat agar dapat hidup aman, tumbuh, dan berkembang tanpa diskriminasi; serta
4. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat hukum adat agar menjadi bagian aktif dalam sistem pemerintahan dan pembangunan.

Lebih jauh, Perdasi Papua Nomor 17 Tahun 2023 tentang Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan dasar struktural bagi pelaksanaan mandat tersebut.

Dalam Pasal 8 ayat (2), diatur bahwa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus bagi OAP mencakup sejumlah komisi tematik, salah satunya :

Komisi Masyarakat Adat

Komisi ini dibentuk sebagai lembaga pelaksana teknis yang berada di bawah salah satu OPD terkait, dan bertanggung jawab kepada kepala perangkat daerah. Keberadaannya tidak sekadar administratif, melainkan menjadi instrumen kelembagaan pelaksanaan Otonomi Khusus di bidang perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.

Badan Urusan Masyarakat Adat dan Konsep Kelembagaan

Dalam buku saya tentang, *Memposisikan Pemerintahan Adat dalam Pemerintahan di Tanah Papua* (2020:72) saya uraikan bahwa, ide menempatkan pemerintahan adat dalam sistem pemerintahan modern Papua sesungguhnya telah dimulai sejak terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Kedua lembaga tersebut menjadi simbol awal rekognisi politik terhadap sistem nilai dan struktur sosial adat di Tanah Papua. Namun, pengakuan tersebut belum cukup jika tidak diikuti dengan lembaga operasional eksekutif yang mampu menjembatani antara pemerintahan modern dan pemerintahan adat.

Pembentukan Biro Pemerintahan Adat di bawah struktur pemerintahan daerah. Biro ini atau dalam konteks Perdasi disebut Badan Urusan Masyarakat Adat diharapkan menjadi mitra pemerintah dan masyarakat adat, dengan tugas melayani ondoafi, raja, sera, kepala suku, dewan adat suku, dewan adat daerah, dan Dewan Adat Papua.

Secara filosofi, lembaga ini akan menjadi jembatan antara “negara hukum” dan “hukum yang hidup” di tengah masyarakat Papua. Karena bagi Papua, hukum adat bukan masa lalu ia adalah fondasi moral, sosial, dan ekologis yang menopang masa depan.

Komisi Masyarakat Adat itu Mandat dan Harapan

Pembentukan Komisi Masyarakat Adat sebagaimana diatur dalam Perdasi Nomor 17 Tahun 2023 adalah langkah lanjut dari proses panjang rekognisi.

Komisi ini memiliki mandat moral dan hukum untuk :

Mengawal pelaksanaan Perdasi Nomor 5 Tahun 2022 di seluruh kabupaten/kota;

Menjadi pusat koordinasi dan data base masyarakat hukum adat;

Memberikan pertimbangan kebijakan kepada pemerintah daerah dalam penyusunan rencana pembangunan yang berkaitan dengan tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam adat;

Mendorong terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) pengakuan masyarakat hukum adat di setiap kabupaten/kota;

Menjadi ruang dialog antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat adat.

Dalam implementasinya, komisi ini akan berfungsi seperti “jantung penghubung” antara struktur formal pemerintahan dengan lembaga-lembaga adat di akar rumput. Kehadirannya di bawah OPD tidak mengurangi independensinya, tetapi menegaskan bahwa urusan adat bukan wilayah marginal melainkan bagian integral dari tata pemerintahan daerah Papua.

Konsekuensi Sosial dan Politik

Tanpa lembaga yang jelas, pengakuan terhadap masyarakat adat sering berhenti di tataran simbolik: ditulis, tapi tak pernah dijalankan; diucapkan, tapi tidak dipahami. Padahal, di lapangan, konflik tanah adat, tumpang tindih izin usaha, marginalisasi komunitas adat, dan ketimpangan ekonomi terus berlangsung.

Oleh karena itu, kehadiran Komisi Masyarakat Adat menjadi jawaban institusional atas kegagalan lama negara dalam memosisikan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang setara. Dalam konteks ini, pendekatan yang ditawarkan bukan sekadar administratif, tapi kultural dan partisipatif.

Masyarakat adat tidak hanya perlu diakui, tapi harus dilibatkan secara langsung dalam perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan penyusunan kebijakan daerah.

Sejalan dengan prinsip dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007), bahwa :

“Indigenous peoples have the right to participate in decision-making in matters which would affect their rights.”

Kehadiran Komisi Masyarakat Adat di Provinsi Papua adalah manifestasi dari tanggung jawab moral dan konstitusional negara untuk mengakui serta melindungi eksistensi masyarakat hukum adat.

Keberadaannya menegaskan bahwa pengakuan bukanlah pemberian, tetapi kewajiban negara terhadap warganya yang hidup dengan sistem nilai dan hukum yang sah.

Dengan dasar Perdasi Papua Nomor 5 Tahun 2022 dan Perdasi Papua Nomor 17 Tahun 2023, maka pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota wajib membentuk dan memperkuat lembaga ini.
Karena hanya dengan kelembagaan yang kokoh, pengakuan terhadap masyarakat adat tidak berhenti sebagai dokumen melainkan menjadi gerak nyata dalam kebijakan publik, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Papua hari ini tidak membutuhkan banyak pidato tentang adat, tetapi sistem yang menghormati adat itu sendiri :

“Pengakuan tanpa perlindungan hanyalah simbol, dan perlindungan tanpa pemberdayaan hanyalah janji kosong.”

Komisi Masyarakat Adat harus menjadi ruang di mana keadilan adat, kearifan lokal, dan martabat manusia Papua menemukan bentuk paling nyatanya. Sebab, adat bukan sekadar warisan ia adalah cara kita membaca masa depan dengan mata leluhur.

Referensi

1. _Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B Ayat (2)._
2. _Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua._
3. _Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat._
4. _Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 17 Tahun 2023 tentang Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota._
5. _Gobai, John NR. Memposisikan Pemerintahan Adat dalam Pemerintahan di Tanah Papua. Jayapura : 2020._
6. _United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), 2007.

Penulis: Jhon N. R. GobaiEditor: Sam nussy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *