FINALISASI Peraturan Kampung (Perkam) Sima di wilayah adat Suku Besar Yerisiam Gua, Nabire, Papua Tengah, bukan sekadar proses administratif desa. Ia adalah simbol perlawanan sunyi terhadap sejarah panjang pengabaian hak ulayat dan perampasan ruang hidup Orang Asli Papua (OAP).
Selama bertahun-tahun, wilayah adat Sima menjadi saksi bisu bagaimana sumber daya alam—hutan dan laut—dijarah oleh pihak luar tanpa izin, tanpa kendali, dan tanpa manfaat berarti bagi pemilik sahnya. Fakta ini menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua tidak selalu berwujud kekerasan bersenjata. Sering kali juga bisa hadir dalam bentuk yang lebih senyap seperti penghilangan hak ekonomi, sosial, dan ekologis masyarakat adat di tanahnya sendiri.
Lahirnya Perkam Sima menjadi tonggak penting dalam mengembalikan kendali masyarakat atas ruang hidup mereka. Regulasi lokal ini memuat aturan zonasi darat dan laut, mekanisme sasi (larangan mengambil hasil alam dalam waktu tertentu), serta sanksi adat dan administratif untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial. Langkah ini mencerminkan praktik ekologi adat yang telah lama menjadi sistem pengetahuan khas Papua — suatu bentuk peradaban yang menyeimbangkan alam dan manusia, jauh sebelum istilah “pembangunan berkelanjutan” dikenal dunia.
Namun, redaksi memandang bahwa keberhasilan Perkam tidak boleh berhenti pada penetapan dokumen hukum kampung semata. Pemerintah daerah dan pusat harus menjamin pengakuan dan perlindungan hukum terhadap wilayah adat sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi dan penghormatan terhadap HAM. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, Perkam berpotensi menjadi aturan simbolik yang mudah digilas kepentingan investasi ekstraktif.
Lebih jauh, model partisipatif yang digagas bersama LSM PILI dan masyarakat adat Sima seharusnya dijadikan rujukan bagi kampung-kampung adat lain di Papua. Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan pendampingan ilmiah LSM lingkungan membuka ruang bagi transformasi pembangunan Papua dari bawah — bukan pembangunan yang meminggirkan, melainkan pembangunan yang memberdayakan.
Redaksi melihat momentum ini sebagai panggilan moral dan politik bagi bangsa Indonesia, bahwa sudah saatnya Orang Asli Papua tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi subjek penentu arah masa depan wilayahnya. Pemerintah perlu mendorong mekanisme pemetaan partisipatif, penguatan hukum adat, dan transparansi izin usaha agar kesejahteraan ekologis dan sosial bisa tumbuh berdampingan.
Karena pada akhirnya, menjaga hutan Yerisiam, melindungi laut Sima, dan menegakkan hak ulayat bukan semata urusan kampung kecil di Nabire. Itu adalah bagian dari upaya besar bangsa untuk memuliakan martabat manusia, keadilan, dan keberlanjutan di tanah Papua.














