Suara dari Perut Tembagapura

Pasca Musibah, Siapa yang Menjaga Tambang Raksasa ini Bisa tetap Aman

banner 120x600

Gambar Ilustrasi.

FEATURE

PEKERJA yang masuk ke perut bumi ketika fajar belum juga muncul. Di antara deru alat berat, bau gas dan unsur kimia lainnya, dan hawa lembab yang menempel di kulit, tujuh pekerja tambang itu memulai hari seperti biasanya — memulai pekerjaannya seperti biasa, mungkin menggali, memantau, dan menggerakkan mesin di jantung tambang terbesar di negeri ini.
Tak ada yang menyangka bahwa pada, 8 Oktober 2025 akan menjadi akhir perjalanan mereka. Lumpur basah, yang disebut wet muck dalam bahasa tambang, datang tiba-tiba — meluncur dari dinding batu yang tak lagi kokoh, menelan ruang kerja, dan bersama itu mengubur tujuh nyawa yang sejujurnya hanya ingin dapat kembali pulang dengan selamat bertemu keluarganya.

Sunyi Setelah Deru Longsoran

Beberapa hari setelah peristiwa itu, area bawah tanah PT Freeport Indonesia di Tembagapura terasa lebih sunyi dari biasanya. Kegiatan operasional sebagian dihentikan sementara untuk penyelidikan internal dan evaluasi keselamatan. Namun di antara kesunyian itu, tentu ada banyak tanya yang terlontar meski terpaksa masih harus menggantung di udara.
Apakah tambang bawah tanah raksasa ini masih akan tetap aman? Apakah sistem pengendalian air dan tekanan batu telah benar-benar terukur? Apakah ada kemungkinan bencana serupa tak akan mungkin lagi terjadi atau bisa saja terulang — mungkin di lorong yang berbeda, di jam kerja yang lain?
Pertanyaan itu tak hanya bergema di kebanyakan hati para keluarga korban, tapi mungkin juga di benak para pekerja lain yang setiap hari menembus gelap di bawah gunung bahkan mungkin oleh kaum keluarganya.

Berada Diantara Lumpur dan Cahaya

Beberapa video yang sempat beredar di media sosial pasca musibah itu memperlihatkan bagaimana kondisi bawah tanah yang becek, berair, dan tampak rapuh. Tidak semua rekaman itu tentu bisa diverifikasi, namun cukup untuk memunculkan kecemasan banyak pekerja dan mungkin kaum keluarganya. Di dunia tambang, air adalah elemen yang hidup — bisa menjadi teman, bisa pula menjadi ancaman.
Para ahli geoteknik tahu betul bagaimana wet muck terbentuk. Ketika air meresap ke lapisan batuan dan bercampur dengan material halus seperti lempung, ia menjadi lumpur pekat yang sulit dikendalikan. Dalam kondisi tertentu, tekanan internal bisa berubah menjadi longsoran yang mematikan.
Itu sebabnya, di tambang-tambang besar dunia — dari Kanada hingga Chile — sistem deteksi dan pencegahan wet muck selalu menjadi fokus utama. Pengawasan harus real-time, komunikasi harus cepat, dan keputusan harus mendahulukan keselamatan di atas produksi.

Kita Pernah Belajar Dari ‘Luka

Ini bukan kali pertama industri tambang di dunia harus berduka. Setiap tragedi, entah di Afrika Selatan, Amerika Latin, atau Papua, selalu mengingatkan bahwa bumi ini tidak pernah bisa sepenuhnya diprediksi. Namun manusia punya satu hal yang membuatnya berbeda — kemampuan untuk belajar dari luka.
Setiap korban mestinya menjadi pengingat, bahwa safety bukan dan tidak bisa dijadikan sekadar angka dalam laporan bulanan atau slogan di pintu masuk tambang. Ia adalah perwujudan dari tanggung jawab moral, sosial, dan kemanusiaan yang melekat pada setiap perusahaan yang mengolah isi bumi.

Suara yang Belum Terjawab

Sebagai jurnalis, upaya untuk mencoba mengonfirmasi kepada Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Katri Krisnati tentang kondisi terkini area bawah tanah — untuk sekedar diperolehnya penjelasan real time soal “apakah pengawasan geoteknik atau apapun istilahnya akan ditingkatkan, atau apakah area berisiko sudah diisolasi, dan bagaimana mekanisme pencegahan kemungkinan wet muck baru.
Hingga tulisan ini disusun, belum ada tanggapan resmi yang diberikan. Mungkin diam adalah bagian dari kehati-hatian. Mungkin perusahaan tengah menyiapkan jawaban yang komprehensif. Namun, di sisi lain, publik butuh kejelasan — terutama keluarga yang masih menatap foto orang terkasih di meja makan mereka yang kini selalu sepi didalam keluarga yang terpaksa tidak bisa bersama lagi.

Moral dan Perut Bumi

Tambang bawah tanah adalah metafora kehidupan: di dalam gelap, manusia bekerja dengan keyakinan bahwa, di ujung lorong akan pasti ada cahaya. Tapi cahaya itu tidak boleh hanya berarti produksi dan keuntungan; cahaya itu juga harus berarti keselamatan, kemanusiaan, dan tanggung jawab.
Ketika tragedi yang dialami sudah terjadi, tugas kita bukan mencari siapa yang salah. Melainkan memastikan tidak ada lagi yang akan merasa kuatir atau bahkan, tidak perlu lagi sampai terjadi korban berikutnya. Itu panggilan nurani, bukan sekadar kebijakan.

Jangan Biarkan Gunung Menjawab Dengan Luka Lagi

Gunung di Tembagapura sudah memberi banyak: emas, tembaga, rejeki, dan kehidupan bagi ribuan keluarga dari berbagai daerah dan bahkan bangsa. Tapi ia juga menuntut penghormatan karena gunung adalah Ibu bagi bagi pemahaman filosofis bagi masyarakat pemilik ulayat — bukan hanya sekedar lewat upacara, tapi lewat komitmen menjaga keselamatan setiap jiwa yang menembus perutnya setiap hari.
Setelah lumpur basah menelan tujuh nyawa, pertanyaan itu kini bergema di antara batu-batu besar di bawah tanah. Siapa yang bisa dan akan menjamin untuk menjaga tambang raksasa ini tetap aman?
Dan mungkin, diamnya perusahaan bukanlah jawaban yang diharapkan publik — karena dalam urusan keselamatan, keheningan justru bisa menjadi tanda bahaya.

Penulis: Sam nussyEditor: Sam nussy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *